Selasa, 12 Agustus 2008

:Yang Ter¬_marginal_Kan !?

:Yang Ter¬_marginal_Kan !?

Bintang menari dalam bayang mu, bintang pagi.
Alun seruling merayap dari rumpun bambu, memecah sunyi.
Lagu syahdu, anak perawan hilang raga diculik Rahwana raja.
Oooo… semua mencari, laksana fajar merayap dari timur raya.

Ragamu teronggok, dalam ceceran lembar koran.
Bekas persetubuhanmu semalam, lalu kembali sepi.
Huruf-huruf tak lagi terbaca, hampa makna.
Gairah hanya lembar kosong, halaman kotor sampah.

Kemudian hadir kesunyian namun penuh pemberontakan.
Kau ! Menjelma dalam bungkus nasi ponggol setan, di pantura.
Raga terbelah, separuh menutupi cahaya bulan.
Terang dan gelap, kita merapat menarik gelombang samudra.

Pelacur kecil, melacur untuk jadi dewasa.
Mengharap bulan datang, menanti Hanoman jadi raja.
Kau ! Terbang dari lipatan terakhir, membawa duka.
Ironi berdiri di atas kaki sendiri, enyah kau Jahanam Penguasa !

Tegal, 15 Maret 2008
Oleh: Wowo Hady Pamungkas

:untuk June

:untuk June

Langit senja itulah jingga
Mempesonakan mata, di mayapada
dari lelah yang terbakar siang surya

May, kau mengajaku bangkit
Lalu berteriak, bisa!
bolehkah aku bertanya, kita hendak kemana?

kepada Cinta aku menghadap
Yang menggerakan waktu
Yang menjadikan, maka jadilah!

aku menghampirimu, June
Dengan Cinta…
Karena May begitu sombong

Satu abad kita saling menunggu
Harap tinggal harap, namun Cinta selalu kusimpan untuk mu
Dihatiku, banyak Doa untuk mu June.

Kita akan terus melangkah, meski dibawah cambuk para penipu, yang rakus
Biarlah June, biar kita seperti ini, bermandi peluh, memungut sisa-sisa makan mereka
Karena esok kita akan bergandeng, mengambil hak kita. Lalu kita teriak BISA!

aku tak takut moncong senjata June, yang dibeli dari cucuran keringat kita.
aku tak takut June, aku tak takut badan tegap mereka, yang makan dari Doa dan air mata kita.

aku takut June, aku takut menjadi penipu, menjadi rakus, mencuri di rumah sendiri, aku takut June, aku takut, aku takut kehilangan Cinta, aku takut kehilangan Doa, aku takut, tak bisa menjaga apa yang dititipkan- Nya.

-whp-
Tegal, 26 Mei 2008

Sate Blengong

Sate Blengong

Makan sate
Daging ditusuk-tusuk
Rempah meruah dalam kuah
Kupat sayur.
E e e sendawa
Perut kerontang jadi kenyang
Teh wangi campur melati, direguk
Uenak tenan.

Alun-alun Brebes, 27-02-08

Rindu

Rindu

Yang ditunggu tak kunjung datang
Yang datang tak kunjung pulang
Yang pulang melantun dendang
Yang dendang menari riang
Yang riang hatinya bimbang
Yang bimbang akankah tenang?

Whp
Tegal, 2008

Perjalanan Demokrasi ?

Perjalanan Demokrasi ?

Kau ilusi, bagi si Lusi yang di kejar pentungan,
di simpang lima.
Kau anarkhi, bagi si Juki yang kalah, lalu marah.
Kau senjata, bagi si Kaya yang rakus berkuasa.
Kau mimpi, bagi si Warmin yang miskin, ingin kawin.
Kau sejati, bagi si Jurdil yang jujur dan adil.
Kau puisi, bagi ilusi, bagi anarkhi, bagi senjata,
bagi mimpi, bagi sejati, bagi kau demokrasi.


Whp
Tegal, 06-05-2008

Orang Gila Indonesia

Orang Gila Indonesia

Aku memang edan
Rambutku awut-awutan
Bajuku compang-camping penuh kotoran
Hobiku ngomong sendiri sepanjang jalan

Aku malas mandi
Hanya demi harga diri
Sebagai orang gila Indonesia sejati

Bolehkah aku bertanya?
Adakah yang mau seperti diriku, gila!
Tak punya apa-apa.

Ataukah ada yang ingin menanyakan,
Kenapa jadi edan?
Karena kemaluan, karena kemuliaan, karena kejujuran.
Aku ! aku ini memang edan.

Whp
Tegal, 06 – 05 – 08

Virus Money

Virus Money

Namanya juga uang
Menjijikan tapi dicari orang
Lho, Lho, Lho … kenapa menjijikan?
Lha ia, wong dipegang banyak tangan.

Hayo… siapa yang ga mau uang?
Presiden, anggota dewan, pejabat, pns, tni, polri, petani, buruh, gelandangan,
preman, PSK, TKI, penipu, pengkhotbah, semua butuh uang.
Benar tidak? kalau ada yang ga butuh, ayo… acungkan tangan.

Kamu, ya kamu yang pake dasi !
Apa ? tidak butuh uang.
Tapi kenapa sogok sana sogok sini.
Demi membudayakan korupsi.

Semua itu demi uang kan?
Kerja keras demi uang!
Uang itu menjijikan, kotor, kok masih saja diperebutkan.

Si Parti habis ngupil pegang uang
Si Joko dikandang kerbau pegang uang
Si Jahal beli Memey di gang sempit pake uang

Hati-hati dengan uang!
Apa…? Ada yang mau cuci uang,
mana, mana, ia kan bang?


whp
Tegal, 9 Mei 2008

Untuk istri

Untuk istri

Merapatlah dalam pelukan ku,
kita raih singgasana biru.

Kecuplah sekali saja bibir ku
Sebelum kutanggalkan sutra mu

Dalam doa, dan wewangian surgawi
Dalam doa, dan nyanyian bidadari

Kau gulita selimut malam ku
Kau terik dipancaran siang ku

Lurus ku adalah lekuk mu
Lekuk mu adalah lurus ku

Jadi apa?
Jadi ku, jadi mu, jadi anak kita.


Whp
Tegal, 06 Mei 2008

Gundah

Gundah

Menikmati kesendirian
Sepi
Getir
Sunyi
Ah, bercintapun hambar rasanya.
Entahlah,
Malam mendekapku dingin

Melupakan senja
Melupakan siang
Ingin tak enggan


whp
Tegal, 2008

EDAN

EDAN

Aku hidup bersama orang gila
“Begitulah kata orang, dan terkadang memang aku benarkan”

Ku ulang kembali kalimat itu
“Aku menjadi gila begitupula orang-orang”

Gila, tak waras, edan
Mengejarku, menguntitku
Sehari, seminggu, sebulan, setahun
Ah … aku lelah dikejarnya
Aku balik mengejarnya

Orang-orang tertawa, aku tertawa
Lalu diam, diam sehening-heningnya

Bayi kecil menangis

“edan”

Semua diam, diam sesunyi-sunyinya
“Ada yang korupsi, ada yang nipu,
Minyak mahal, hutang banyak, separatis
Demo, sogok, suap, kerja susah, pengangguran,
Gosip, makar, malas, bodoh

EDAN
Aku diam, diam sesepi-sepinya

Whp
Tegal, 090707

Doa Pengemis Tua

Doa Pengemis Tua

Tangan mu yang keriput
Menitik air mata iba
Dibakar terik, seperti di tengah sahara
Kering, menunggu rintik jatuh dari langit

Aku bukan langit yang menurunkan hujan
Namun disaku masih ada selembar ribuan
Semoga dapat menambah untuk membeli makan dan minuman
Terima kasih doanya nek, semoga aku bisa mendirikan,
panti asuhan.

whp
Tegal, 26-05-08

Republik Burung Kakak Tua

Republik Burung Kakak Tua
Oleh: WH. Pamungkas

Burung kaka tua hinggap di jendela
Kakek sudah tiada
Kasusnya belum selesai juga

Burung kaka tua hinggap di jendela
Kakek pergi ke alam baka
diharap berkabung seminggu saja

Burung kaka tua hinggap di jendela
Republik sudah merdeka
Rakyat tetap saja menderita

Burung kaka tua hinggap dijendela
Koruptor bertebaran dimana-mana
Kok… dibiarkan saja

Burung kaka tua hinggap dijendela
Yang waras, jadi gila
Yang gila, tambah gila.

Tegal, Februari 2008

Bencana

Bencana

Rintik hujan turun di atas bumi yang gundah
Menenggelamkan debu demi debu
Hingga lumpur liar, riak menjalar
Ada yang terbakar dingin
Di tengah genangan
Bukan api yang membara
Bah, banjir laksana bara
Menelan apa saja yang dia suka.


Whp
Tegal, 14-01-2008

Areal Mesum

Areal Mesum

Gerimis mengiris
Gerbong panjang diam
Dikiri kanan
Gubug reot pantat kendur
Yang menjulang
Habis pisang dimakan codot

Tegal, 26-02-08

Yang Berjalan

Yang Berjalan

Yang berjalan
Kota baru terjaga
Dan asap mulai lagi membumbung
Ke langit.

Dosa yang angker
Menutupi cahaya.

Yang berjalan
Hanya arah yang menuntun pulang.

whp
Tegal, 09-01-08

Terjepit

Terjepit

Panas sesak
Lelah terengah-engah
Menengadah pasrah

Tegal, 2008

Sakit Jantung

Sakit Jantung

Duri-duri masuk ke dada
Merejam
Udara tergopoh-gopoh dirongga hidung
Terbendung
Sunyi langit putih
Cahaya berpendar nanar
Menanti mentari berdiri
Dibalik selimut mata tak pejam
Berkedip,
Mengiring detak jantung meraung.

Tegal, ahir 2007

Persetubuhan

Persetubuhan

Aku ingin memasung jiwa diragamu
Menyulam jiwamu diragaku
Kita jadi putih, jadi hitam, jadi pelangi
Saat telanjang.


Whp
Tegal, 2008

Srikandi

Srikandi
: dedicated for TKW

Jauh di sebrang, kau kedinginan
Sepi, seperti dingin yang menusuk ulu hati
Dan bayang mimpi terus mengajakmu berlari

Memungut lembar demi lembar dolar
Memanjat tangga beranjak dari samsara
Dunia belenggu dunia abu-abu, kau cumbu

Hari hampir pagi, kau masih juga menari
Memeras keringat, menabuh genderang
Uang, uang, menunggu datangnya pulang

Whp
Tegal, 5 Januari 2008

Optimisme

Optimisme

Kita berjalan terus-menerus
Membawa sekeping Cinta dan Doa

Tegal, 2008

Mimpi seorang Papa

Mimpi seorang Papa

Gajiku 16 ribu sehari
Dapat apa?
Sepuluh Ribu
Tinggal enam ribu sudah.
Minyak goreng, bbm, listrik, semua naik sudah.
Enam belas ribu sehari
Kapan naiknya?
Nunggu anaku jadi presiden.
Bagaimana bisa?
Buat makan juga tak cukup sudah.
Bagaimana mau sekolah?
Ternak Tuyul Saja!
Ahhh…. Aku masih punya harga diri
Masa ngemis sama Tuyul
Malu sama Pancasila
Malu sama yang tak punya agama
Yang tak ber-tu(h)an pun mampu buat pesawat
Ada-ada saja, bisa-bisa saja
Terus kapan naiknya
Apa?
Gaji, gaji, gaji, upah?
Ohhh…
Nunggu anaku jadi presiden!
Gimana bisa!
Ya bisa aja, kalau itu sudah takdirNya.

Tegal, 10 Maret 2008

Menjaga pandangan

Menjaga pandangan

Mata-mata kosong,
Mata sayu gadis ayu menunduk malu
Mata jalang pemuda, sperti terik di atas ladang terbentang.

Tegal, 2008

Tak Bisa Tidur

Tak Bisa Tidur

Insomnia, kemana lagi harus menghadap
Hingga raga bisa terlelap
Ada rindu untukmu
Selaksa bayu dicumbu waktu
Dibelai pagi
Disetubuhi sang mentari
Di peraduan khayali

Whp
Tegal, 2008

Pagi depan penjara

Pagi depan penjara

Dua anak diborgol tangannya
Polisi muda mengawal mereka
Aku digerbang tahanan
Menatap mereka

Dua anak menembus gerbang
Pintu besi tembok tinggi
Ruang sempit
Asing !?

Lembaga atau pengasingan?!

Tegal, 2008

Bukan Putri Indonesia

Bukan Putri Indonesia

Gadis sunyi berjalan sendiri
Dari jauh seribu tangan melambai
Si Gadis berlari, mengejar
Tangan-tangan itu memudar
Tak ada yang melambai
Si Gadis duduk lunglai.

Whp
Tegal, 15-01-08

:Ayat-ayat Nafsu

:Ayat-ayat Nafsu

Jangan salib tubuh (ku)
Kelahiran (ku) adalah kemerdekaan

Merdeka untuk Nya
Dia

untuk Nya saliblah nafsu (ku)

untuk membunuh
bukan membunuh saudara (ku)
bunuhlah musuh (ku)

untuk melahirkan
bukan melahirkan penderitaan, jinah !
Lahirkanlah kebahagiaan, khalifah !

Ayat-ayat nafsu adalah waktu.

Tegal, 17 Maret 2008
Oleh: Wowo Hady Pamungkas

pagi GERIMIS

1.
PAGI GERIMIS
Malam ke malam berlalu dengan cepat, seolah senja tak pernah datang. Hanya pagi dan malam. Terbanglah burung emprit mencari makan, dan ketika malam datang ribuan orang mengukir mimpi, sang burung terkantuk-kantuk di dahan kering yang lapuk. Sedangkan diruang lain orang menjadi liar, layaknya burung hantu lapar memburu seekor tikus dan ular.

Begitulah hidup ini.
Mimpi dan perjuangan.
Untuk memangsa atau dimangsa.

2.
PAGI GERIMIS
Orang-orang sibuk merapikan kedok dan segala aksesoris yang ia kenakan di tubuhnya. Babak baru drama kehidupan sudah dimulai.

Lantas aku menjadi siapa hari ini?

Dan siapakah yang menjadi aku hari ini?!

3.
PAGI GERIMIS
Dimanakah debu di tepi jalan?
Apakah ia sedang disetubuhi ribuan rintik.

4.
PAGI GERIMIS
Kota bergerak bangun dari tidurnya, dan desa terjaga menghampiri lambaian batang padi yang tertiup angin. Seribu keinginan, seribu hasrat menggelayut dihiruk pikuk kota, ia bergerak merangkul rintih desa yang tersisih, namun kesunyian desa sempat sesaat menina bobokan kelopak mata yang lelah. Kota dan desa seperti sepasang kekasih yang sedang merindu. Seperti kantuk yang mengajak tidur, karena bercinta telah usai.

5.
PAGI GERIMIS
Ada yang tertahan di balik kelopak mata yang lelah, biarkan ia menjadi awan yang diombang-ambingkan angin. Namun gerimis pagi ini pertanda kalau kesedihan tak bisa sembunyi di balik kelopak mata yang sepi. Segalanya kapanpun bisa tumpah seperti gerimis pagi ini.

6.
PAGI GERIMIS
Kesunyian bersembunyi dalam tawa yang manis
Dan lagi-lagi kebisuan harus menjadi raja.

7.
PAGI GERIMIS
Apakah ini akhir dari musim hujan?
Bersiaplah, karena kekeringan sedang mengintai, perlahan mendekat bersama terik yang menyengat, ia akan mendekap membakar hingga dahaga panjang jadi kerontang.

Segalapun terbakar. MENJULUR. Menjadi lidah api.

Tegal, 27 Juni 2007
Whp_

sejarah tegal

Sejarah Tegal
Kekayaan sejarah sebuah kota atau kawasan terlihat dari jejak peninggalan apa yang disebut cultural heritage dan living cultural yang tersisa dan hidup di kawasan tersebut. Keduanya merupakan warisan peradaban umat manusia.

Demikian halnya dengan Kabupaten Tegal, Wilayah yang kaya akan jejak peninggalan kesejarahan sebagai penanda bahwa Kabupaten Tegal sebagai tlatah kawasan tak dapat dilepaskan dari keterkaitan garis sejarah hingga membentuk kawasan sekarang ini.
Penekanan pada bidang pertanian misalnya, tak dapat dilepaskan dari kondisi wilayah dan akar kesejarahan tlatah Kabupaten Tegal yang mengembangkan kapasitasnya selaku wilayah agraris. Tradisi keagrarisan dimulai dari ketokoan Ki Gede Sebayu juru demung trah Pajang. Bahkan kalau dirunut keagrarisan itu dimulai semenjak Mataram Kuno.

Kesaksian ini diperkuat denga ditemukannya artefak kuno dan candi di Pedagangan. Ditambah tlatah Tegal kerapkali dikaitkan dengan kerajaan Pajang dan Mataram Islam yang cenderung kekuasaan dengan basis pada agraris ( De Graaf, 1986).

Juru Demung Ki Gede Sebayu

Tegal berasal dari nama Tetegal, tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian (Depdikbud Kabupaten Tegal, 1984). Sumber lain menyatakan, nama Tegal dipercaya berasal dari kata Teteguall. Sebutan yang diberikan seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pires yang singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500 –an (Suputro, 1955).

Namun sejarah tlatah Kabupaten Tegal tak dapat diepaskan dari ketokohan Ki Gede Sebayu. Namanya dikaitkan dengan trah Majapahit, karena sang ayah Ki Gede Tepus Rumput ( kelak bernama Pangeran Onje) ialah keturunan Batara Katong Adipati Ponorogo yang masih punya kaitan dengan keturunan dinasti Majapahit (Sugeng Priyadi, 2002).

Sejarah Brebes

Ada beberapa pendapat asal muasal nama Brebes. Yang pertama mencoba menghubungkannya dengan keadaan alamiah daerah Brebes yang pada awal mulanya konon mempunyai banyak air dan sering tergenang air, bahkan ada kemungkinan masih berupa rawa-rawa. Mengingat banyak air yang merembes, munculah kemudian nama Brebes, yang selanjutnya mengalami "verbastering" (perubahan) menjadi Brebes. Pendapat kedua mencoba menalikannya dengan peri masuknya agama Islam pada awal mulanya ke Brebes, yang sekalipun dihalang-halangi namun ternyata masih juga merembes, yang dalam bahasa daerah disebut disebut "berbes". Oleh karenanya muncullah kemudian nama Berbes, yang selanjutnya berubah menjadi Brebes.

Pendapat yang ketiga mencoba menerangkan asal muasal nama Brebes dari kata-kata "bara" dan "basah".

"Bara" berarti hamparan tanah datar yang luas, sedang "basah" berarti banyak mengandung air. Kedua-duanya cocok dengan keadaan daerah Brebes, yang kecuali merupakan air. Kedua-duanya cocok dengan keadaan daerah Brebes yang kacuali merupakan dataran luas, juga mengandung banyak air, karena perkataan "bara" diucapkan "bere", sedang "basah" diucapkan "beseh", pada akhirnya lahirlah perkataan "Bere basah", yang untuk mudahnya kemudian telah berubah menjadi Brebes.

Ada pula terdapat ceritera yang berkaitan denga kata yang akhirnya menjadi kota Brebes yaitu:

Diantaranya Salem-Bantarkawung terdapat gunung bernama "Baribis" dari gunung Baribis tersebut mengalir sungai "Baribis" yang mengalir melalui dataran bagian utara bermuara di laut Jawa dan setelah bergabung dengan aliran sungai-sungai yang alin merupakan sungai besar dipantai utara Jawa. Sungai Baribis ini, pada jaman dulu dianggap sebagai sungai yang bertuah = angker (Jawa) dan konon sungai tersebut juga banyak buayanya. Orang-orang tua pada saat itu banyak yang melarang anak cucunya untuk datang, menyeberangi, mandi dan sebagainya disungai tersebut. Terlebih dalam saat berperang orang tua selalu memberikan peringatan-peringatan yang melarang melangkahi/menyeberangi sungai tersebut. Untuk meyakinkan hal ini, mka terungkaplah sebuah legenda tentang perang Arya Bangah dengan Ciyung Wanara. Akibat menyeberangi sungai Baribis tersebut, Arya Bangah mengalami kekalahan.

Dari kepercayaan akan hal tersebut maka sungai Baribis itu dijadikan peringatan = pepenget = pepeling = pepali = larangan agar jangan sampai pada saat berperang melangkahi = menyeberangi sungai tersebut.

Karena sungai Baribis menjadi larangan dari kaum tua, maka sungai Baribis dikenal sebagai larangan, atau sungai pepali atau pemali, yang berarti pepalan atau larangan.

Jadi dahulu menurut tutur beberapa orang tua di daerah Brebes selatan sungai Pemali itu semula bernama sungai Baribis yang bermata air dari gunung Baribis. Kemungkinan itu sebabnya, daerah ini disebut daerah Baribis, yaitu daerah aliran sungai Baribis dan dari kata Baribis ini menjadi Brebes.

Kalau kita perhatikan dengan seksama, nama-nama tempat si pulau Jawa ternyata merupakancermin dari keadaan alam disekitar masyarakat yang mendiami tempat-tempat itu dan cara berpikir mereka. Nama-nama itu bisa kita bedakan dalam dua golongan besar. Yang pertama, yang secara spontan telah lahir dari masyarakat di kota-kota itu sendiri, sedang yang kedua, yang dengan sengaja telah diberikan atau diperintahkan oleh suatu penguasa untuk dipakai, misalnya nama Surakarta Adiningrat, yang mula-mula telah dipergunakan oleh Sultan Pakubuwana II pada tahun 1745 untuk menyebut nama-nama tempat yang: 1. Berasal dari nama-nama tanaman, 2. Berasal dari nama-nama binatang, 3. Berasal dari nama-nama benda tambang, 4. Berasal dari nama-nama orang, 5. Mengingatkan kita pada suatu keistimewaan topografis.

Nama kota Brebes termasuk dalam katagori yang kelima. Dalam bahasa Jawa perkataan Brebes atau Mrebes berarti "tansah metu banyune" artinya "selalu keluar airnya" dan nama ini telah lahir, mengingat pada awal mula sejarahnya, keadaan lahan di kawasan kota Brebes sekarang ini memang selalu keluar airnya. Adapun kota-kota lain yang juga memiliki nama-nama semacam itu, artinya yang telah lahir berdasarkan keadaan tanahnya pada awal mula sejarahnya, bisa kita sebutkan antara lain nama-nama kota Blora di daerah Jawa Tengah dan Jember di Jawa Timur. Nama Blora telah muncul oleh keadaan tanah di kawasan kota itu pada mula sejarahnya memang masih berupa rawa-rawa, sesuai dengan arti perkataan Blora atau Balora, yang merupakan sebuah perkataan bahasa Jawa kuna yang berarti rawa, sedang nama kota Jember telah lahir, mengingat pada awal mula sejarahnya keadaan tanah di kawasan kota memang benar-benar jember atau njember, sebuah perkataan dalam bahasa Jawa berarti reged ajenes, artinya kotor dan mengandung air.

Dari sumber yang dapat diketemukan, pada tahun 1640 / 1641, nama Brebes itu sudah mulai tercantum di dalam penulisan / laporan / daftar harian yang dibuat oleh VOC. Makin kesini makin banyak uraiannya, meskipun hanya dalam hal sebagai tujuan atau persinggahan pengiriman barang-barang penting dan bahan pokok, misalnya alat-alat untuk kompeni (VOC), bahan pakaian, bahan makanan dan sebagainya.

Nama Brebes itu sendiri pernah ditulis: Barbas, Barbos atau Brebes. Dari nama dan bagaimanapun juga asal muasalnya atau apapun juga makna nama Brebes itu, kiranya bukanlah masalah bagi penduduk Brebes masa kini. Yang penting adalah mengambil hikmah dari dalamnya. Suatu kenyataan Wilayah Kabupaten brebes dianalisa dari segi lahan/tanah, curah hujan serta iklimnya, mempunyai prospek/masa depan yang cerah. Segala faktor penghambatannya Insya Allah akan dapat diatasi oleh generasi penerusnya.

NASKAH PUTUSAN SEMINAR
TANGGAL 1 NOPEMBER 1984 PERUMUSAN

Seminar penyusunan Sejarah dan Hari jadi Kabupaten Brebes pada hari Kamis tanggal 1 Nopember 1984 di Gedung DPRD Kabupaten Brebes, yang dihadiri oleh :

  • Muspida,
  • Tokoh Masyarakat,
  • Cendekiawan,
  • Undangan dari daerah dan Luar Daerah,
  • Konsultan,
  • Panitia Penyusunan Sejarah dan hari jadi Kabupaten Brebes,

Setelah mendapat :

  • Sambutan dan pengarahn Bupati Kepala Daerah dan Ketua DPRD Kabupaten Brebes,
  • Penjelasan Kertas-kerja Panitia Penyusun oleh penyaji materi (Sdr. D. Atmowinoto),
  • Tanggapan, usul-saran dan pendapat para peserta, (materi terlampir) ;

MEMUTUSKAN

  1. Menerima materi Panitia Penyusun Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Brebes, untuk ditambah sempurnakan dengan materi masukan dari para hadirin peserta (materi masukan terlampir), yang secara selektif disusun lengkap-sempurnakan oleh Panitia Penyusun Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Brebes.
  2. Menetapkan Hari Jadi Kabupaten Brebes : Hari Senin Kliwon tanggal 18 Januari 1678.
  3. Naskah penyempurnaan segera disebar-luaskan untuk mendapat tanggapan dan masukkan, yang kemudian secara final disusun kembali menjadi materi-final oleh Panitia Penyusun Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Brebes.
  4. Buku Naskah - final Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Brebes, disampaikan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Brebes untuk dimusyawarahkan DPRD Kabupaten Brebes menjadi produk politik Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes, berupa :

a. Peraturan Daerah tentang hari Jadi Kabupaten Brebes.

b. Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah yang dikuatkan oleh DPRD tentang : Sejarah Kabupaten Brebes.

Demikian rumusan kami buat, untuk dimusyawarahkan dan mendapat kata mufakat dari sidang Paripurna Seminar.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melindungi kita semua dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.

Brebes, 1 Nopember 1984.

1. Soewardi Wirjaatmadja (Ketua/anggota)
2. Nuridin Mawardi (Sekretaris/Pelapor/Anggota)
3. Drs. Soetadi (Anggota)
4. Drs. H. Ahmad Harisman, SH (Anggota)
5. Drs. Soetadji (Anggota)
6. Amen Budiman (Anggota)


Nama - nama Bupati Brebes Cetak halaman ini
Ditulis oleh Administrator
Jumat, 12 Oktober 2007
  1. Tumenggung Arya Suralaya 1678 - 1683
  2. Tumenggung Pusponegoro I
  3. Tumenggung Pusponegoro II 1683 - 1809
  4. Tumenggung Pusponegoro III
  5. K.A.A. Singasari Panatayuda I 1809 - 1836
  6. K.A.A. Singasari Panatayuda II 1836 - 1856
  7. K.A.A. Singasari Panatayuda III
  8. R.T. Cakra Atmaja 1876 - 1880
  9. RM. AA. Cakranegara I 1880 - 1885
  10. RM. T. Sumitra (Cakranegara II) 1885 -
  11. RM. Martana 1907 - 1929
  12. R. Sajikun 1929 (8 bulan)
  13. KRTM. Ariya Purnama Hadiningrat 1920 - 1929
  14. RAA. Sutirta Pringga Haditirta 1936 - 1942
  15. R. Sunarya 1942 - 1945
  16. Sarimin Reksadiharja 1946
  17. K. A. Syatori 1946 - 1947
  18. R. Awal 1947 - 1947
  19. Agus Miftah 1947 - 1948
  20. R. Sumarna 1948 - 1950
  21. Mas Slamet 1950 - 1956
  22. R. Mardjaban 1956 - 1966
  23. R.H. Sartono Gondosoewandito, SH 1967 - 1979
  24. H. Syafrul Supardi 1979 - 1989
  25. H. Hardono 1989 - 1994
  26. H. Syamsudin Sagiman 1994 - 1999
  27. H. Moh. Tadjudin Nuraly 1999 - 2001
  28. PLTH Drs Haji Tri Harjono 2001-2002

Misteri Perjalanan Dendles Di Banten

DN. Halwany

Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan disekitarnya.

Rute jalan Daendels di Kabupaten Serang sampai saat ini sebetulnya masih dihantui oleh kesimpangsiuran informasi. Karena yang beredar di masyarakat ada dua pendapat ada yang berpendapat bahwa jalan Daendels melewati Kabupaten Lebak, namun ada juga yang menyatakan hanya melewati Kabupaten Serang saja. Memang, menelusuri jalan Daedels dari titik km nol di Anyer hingga 1000 km di Panarukan, orang sering bingung untuk menentukan rute yang benar apakah melalui Serang ataukah melalui Lebak, beberapa masyarakat yang dihubungi, hanya mengenal jalan Daendels dari Anyer sampai Serang. Tidak itu saja di Banten juga banyak jalan-jalan yang bercabang dan masyarakat setempat menamakannya jalan Daendels.

Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembautan jalan Deandels saat itu melaukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Palasari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer Melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.

Di daerah tertentu, banyak rute khusus yang sengaja di bangun oleh Daendels pada masa itu terutama daerah pusat Kabupaten karena untuk mempermudah transortasi pengangkutan rempah-rempah ke luar daerah tersebut. Banten merupakan tempat yang paling banyak memiliki cabang-cabang Jalan Deandels sebab Banten cukup banyak menghasilkan rempah-rempah. Anyer dijadikan titik km nol karena kota ini sudah di pola Daendels untuk mempermudahkan pengangkutan hasil bumi dari Banten menuju dua pelabuhan yaitu pelabuhan Merak dan Pelabuhan Ujung Kulon. Banten sendiri sudah dilokalisasi dalam segi hasil bumi oleh Daendels karena Banten Subur dan Kaya akan hasil buminya terutama rempah-rempah.

Hingga saat ini, sebagian besar jalan Daendels masih terpakai bahkan yang lama sengaja diperbaharui supaya dapat digunakan. Jalan Daendels yang tidak dapat digunakan lagi adalah daerah Pontang dan Bayah, karena hancur dan tidak diperbaiki kembali. Sementara itu Daendels sempat memerintahkan pembuatan jalan di selatan Pulau Jawa, rutenya di mulai dari sebelah barat Jawa yakni; Bayah menuju Pelabuhan Ratu, terus ke selatan ke daerah Sukabumi, Cimanuk dan seterusnya hingga ke Pangandaran, Purwokerto dan Yoyakarta. Jalan Daendels yang lebih di kenal oleh masyarkat adalah jalan bagian utara Jawa, ini disebabkan karena jalan di utara melalui rute yang berhadapan langsung dengan rute Batavia, sedangkan jalan bagian selatan Jawa selain kondisi jalannya rusak banyak juga yang terputus seperti jalan Bayah sampai Citorek.

Ada beberapa versi mengenai sejarah pembuatan jalan ini, ada yang mengatakan bahwa Daendels membuat jalan Anyer – Panarukan ini karena ingin mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, sehingga Pulau Jawa perlu dibangun jalan guna menghubungkan suatu daerah ke daerah lain agar dapat mempercepat kabar berita dan alur transportasi. Secara kronologis, pada tahun 1808 datanglah Herman Willem Daendels dari Belanda ke Banten, waktu ia datang ke Indonesia negaranya tengah di jajah oleh Perancis. Sebagai murid yang disayangi Napoleon, akhirnya Daendels dikirim ke Indonesia untuk menggantikan Gubernur Jendral dari Belanda yang ada di Indonesia oleh Napoleon Bonaparte (Dr. H.J. de Graaf; 363-370, 1949). Dengan segala upaya akhirnya Daendels mendapatkan bantuan dari rakyat Banten berupa rempah-rempah untuk dikirim ke Perancis dan Belanda sebagai upeti, jadi tidak mengherankan jika ia membuat kerja rodi dan tanam paksa (verplichte diensten) karena jika tidak, ia tidak bisa memberikan upeti pada kedua negara itu.

Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.

Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan jalan pos disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi pola pikirnya sampai kebawah.

Keadaan jalan Daendels saat ini dari titik nol km yang bertempat di Anyer Kidul, Desa Cikoneng menuju Serang maupun Pandeglang dibandingkan dengan situasi dan kondisi 180 tahun yang lalu, memang jauh berbeda baik cara hidup masyarakat setempat ataupun alam sekitarnya. Pada saat tanam paksa pembuatan jalan hanya hutan belantara dengan kehidupan binatang yang ada dan di dukung oleh keadaan pantai yang indah menawan belum terjamah manusia. Puluhan orang pribumi atas perintah paksa menerobos hutan dan jadilah jalan tembus untuk mempernudah arus angutan hasil-hasil bumi. Menurut ceritera penduduk setempat, pada pembuatan jalan Daendles (kerja rodi) ini setiap jarak 25 meter di tanami pohon asem di pinggir badan jalan, itu dilakukan agar badan jalan yang telah di buat tetap terpelihara adan terjaga.

Menginjak tahun 1950-an, sepanjang jalan pantai Selat Sunda ini masih sunyi, karena tidak seminggu sekali pun kendaraan roda empat melintas ke tempat ini kecuali kereta api yang melintas jurusan Rangkasbitung – Anyer itupun sehari sekali pulang-pergi mengangkut para penumpang, tapi sejak tahun 1970 di Anyer tak ada lagi ada kereta api yang melintas dan yang ada tinggal sebuah stasiun tua yang sunyi dan sepi. Beberapa masyarakat berpendapat waktu tahun 1972, jangankan malam hari pada siang hari saja masih sering menemukan rombongan binatang seperti; monyet, kancil, manjangan, kelinci maupun sesekali terlihat macan. Sekarang jalan itu telah ramai di lalui kendaraan bermotor, tak kelihatan lagi gerobak yang biasa lewat mengangut singkong ataupun pisang malah yang banyak terlihat tembok-tembok bangunan milik penduduk berjejer bahkan vila dan hotel pun telah menutupi hampir semua kawasan pantai Selat Sunda itu. Tidak hanya itu saja pabrik-pabrik pun telah memadati kawasan ini termasuk tambak udang, sekarang tidak ada lagi kelihatatan binatang liar yang bebas bergelantungan di pohon-pohon maupun bergerombol di pinggiran jalan. Binatang ini telah pergi entah kemana.


Sumber data;

1. Michrob, Halwany, 1994, “Festifal Banten 94” booklet atau brosur tempat wisata di daerah Banten.

2. Michrob, Halwany, 1990, diambil dari buku berbahasa Belanda yang berjudul “Geschiedenis van Indonesie” 1949

Jalur Pantura, Jalur Pungli

AWAL abad ke-19 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memerintahkan pembangunan Groote Post Weg (Jalan Pos) dari Anyer ke Panarukan menjadi penghubung seluruh Pulau Jawa demi keuntungan penjajah Belanda. Dua abad berlalu, Jalan Pos menjadi jalur pantura, urat nadi perekonomian Jawa sekaligus surga pungli "penjajah lokal" bernama oknum aparat.

REPETISI sejarah. Itulah drama yang terjadi di bentangan jalan raya Anyer-Panarukan. Pengisapan kolonial Belanda diulangi secara sistemik oleh birokrasi bangsa sendiri di alam "merdeka". Pantauan Kompas akhir Juli-awal Agustus di sepanjang jalur pantai utara Jawa dari Jakarta ke Surabaya pergi-pulang mendapati praktik pungutan liar menjadi tradisi abadi atas transportasi barang di lintasan tersebut. Sekurangnya seorang pengemudi harus membayar Rp 100.000 untuk perjalanan Jakarta-Surabaya pergi-pulang.

Pungli paling nyata terjadi di jembatan timbang. Apakah jumlah muatan sesuai dengan ketentuan atau melebihi tidak menjadi patokan penegakan aturan. Pasalnya, pengemudi truk tetap harus membayar sejumlah uang kepada petugas jembatan timbang.

Pada hari Jumat (30/7) hingga akhir pekan, Kompas mendapati praktik pungli pada lima jembatan timbang di sisi kiri jalan dari arah Surabaya menuju Jakarta. Demikian pula arah sebaliknya dari Jakarta menuju Surabaya, sepanjang Senin hingga Rabu, 2-4 Agustus, pada empat jembatan timbang, setiap pengemudi harus membayar minimal Rp 10.000 setiap kali melintas.

Anto (45), pengemudi truk tronton, mengatakan paling sedikit mereka harus menyediakan Rp 10.000 setiap kali melewati jembatan timbang. Jumlah tersebut bervariasi hingga mencapai Rp 20.000, tergantung jumlah kelebihan muatan dan mood petugas. Sebelumnya Anto sudah membayar upeti saat melintasi jembatan timbang Losarang di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.

Menurut Anto, oknum petugas sudah tidak malu-malu lagi minta pungli wajib. Ucapan tersebut memang terbukti saat Kompas melewati jembatan timbang di Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Truk yang dikemudikan Anto baru saja melewati jembatan timbang tanpa masalah. Tiba-tiba, saat keluar dari jembatan timbang, terdengar suara peluit melengking tiupan petugas. Dari pengeras suara jembatan timbang terdengar petugas memerintahkan untuk berhenti.

Kontan Anto menyiapkan selembar uang Rp 10.000, menyerahkannya kepada kernet. Sang kernet segera meloncat turun, berlari ke jembatan timbang, menyerahkan uang tersebut kepada petugas. Habis perkara.

Truk kembali berangkat melintasi dua jembatan timbang berikut di Demak, Jawa Tengah, dan terakhir di Lamongan, Jawa Timur. Lagi-lagi praktik itu berulang. Sepuluh ribu rupiah uang jasa keluar dari dompet Anto ke kantong petugas. "Dana sosial," kata Anto sambil tersenyum kecut.

Itu baru separuh perjalanan karena Anto masih harus kembali menyelesaikan perjalanan dari Surabaya ke Jakarta. Praktik ini berulang dan itu belum termasuk biaya tambahan untuk oknum polisi yang terkadang menyetop tanpa sebab ataupun menjebak di lokasi tertentu seperti sekitar lampu pengatur lalu lintas. (Sayang, dari Banjarnegara tidak ada perekam ulung untuk VCD mengabadikan peristiwa ini.)

Tarifnya sedikit berbeda: Rp 5.000 hingga Rp 20.000 sekali cegat. Dalam perjalanan kali ini Anto cukup beruntung tak sempat dihentikan polisi. Memang di dekat kawasan Pulogebang, seorang petugas dari mobil patroli polisi sempat memerintahkan truk yang dikemudikan Anto menepi. Namun, Anto nekat terus mengemudi dan dia mujur sebab mobil polisi tidak mengejarnya.

Kalaupun petugas tidak menjebak atau mencari kesalahan, mereka punya lokasi resmi meminta uang, seperti pos polisi dekat Gerbang Tol Ciawi. Dalam pantauan Kompas beberapa bulan terakhir, setiap truk besar dan kecil selalu berhenti sejenak dan memberikan sesuatu kepada orang-orang "berpakaian biasa" yang berkeliaran dari dalam pos polisi tersebut. Perbuatan tersebut kontras dengan papan peringatan bertulis: "Dilarang Memberikan Apa Pun kepada Petugas".

JALUR pantura adalah jalur pungli. Setiap jembatan timbang menjadi lahan pesta para oknum petugas. Bahkan, di jembatan timbang rusak sekalipun, petugas masih mengambil uang sukarela dari pengemudi. Kejadian memalukan ini terjadi di Jembatan Timbang Waruduwur, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon.

Dalam pantauan Kompas di lokasi sepanjang 24 jam, Kamis (5/8), sekitar 200 truk masuk ke jembatan timbang yang terajunya sudah tidak berfungsi itu. Apalagi, lokasi jembatan timbang itu sudah tidak menjadi jalur utama angkutan truk di Pantura sejak beroperasinya Jalan Tol Kanci-Palimanan.

Menurut petugas di lokasi, truk yang melintas di jembatan timbang itu hanya 10 persen dari seluruh lalu lintas truk yang kini memilih menggunakan jalan tol. Petugas tidak mewajibkan pengemudi memberikan uang. Namun, terlihat setiap truk besar dan kecil yang melintasi jembatan timbang "formalitas" itu memberikan uang Rp 5.000-Rp 10.000.

Bayangkan, dari sebuah jembatan timbang rusak saja bisa diperoleh uang pungli sekurangnya Rp 1 juta sehari! Bandingkanlah dengan sembilan jembatan timbang "aktif" di jalur Jakarta-Surabaya. Untuk frekuensi minimum 1.000 truk setiap hari dengan uang pungli paling kecil Rp 10.000, dipastikan bisa dihasilkan uang haram sebesar Rp 50 juta dalam sehari semalam dan dalam sebulan Rp 1,5 miliar! Ini belum termasuk jembatan timbang dan pos pungutan Merak-Jakarta dan Surabaya-Banyuwangi. Dan hitungan tersebut hanya memberikan perkiraan kasar yang sangat minim.

Sebagai bukti adalah hasil pemantauan di Lamongan, Jawa Timur, sejak pukul 10.00 sampai 11.00. Setidaknya terlihat 70 sopir truk memberikan sejumlah uang pada Jumat (30/7). Kebanyakan truk itu berbeban lebih dari yang ditetapkan. Ada yang menyerahkannya di dalam amplop atau terang-terangan dengan uang yang dilipat. Setelah memberi uang, sopir langsung bisa tancap gas.

Demikian pula, setelah menyerahkan Rp 20.000 terlipat, truk yang ditumpangi Kompas yang berdaya angkut minimal 11 ton (batas maksimal 9,35 ton) lancar perjalanannya. Jika tidak diberi, petugas bisa menilangnya. Usut punya usut, biaya tebus tilang lebih besar dibandingkan dengan biaya "salam tempel" itu. Menurut penuturan Giarto (36), sopir truk rute Sidoarjo-Surabaya, biaya tilang kelebihan beban Rp 35.000 dan proses penyelesaian sidang bisa sampai dua minggu.

Ada pula yang menyerahkan Rp 10.000 dan bisa langsung pergi. Itu pun dengan catatan, muatan tidak terlalu berlebihan. Truk berkapasitas 2,5 ton sampai lima ton (truk berukuran sedang) biasanya membayar Rp 5.000.

Memang sesekali ada truk yang terkena tilang. Namun, menurut pengakuan Anto, Yunan, dan sejumlah sopir lain, tilang dilakukan sekadar formalitas memenuhi target tilang demi kepantasan laporan administrasi di instansi terkait.

Modus pungli ini semakin canggih. Untuk truk-truk bermuatan 40 ton hingga 70 ton seperti trailer raksasa, mereka tidak diharuskan masuk jembatan timbang. Pasalnya, menurut Anto, ada setoran bulanan kepada oknum petinggi DLLAJR di provinsi masing-masing yang dilewati truk tersebut.

Selain itu, ada sistem paket bagi truk yang kelebihan muatan, jauh melampaui daya angkut dengan memberi tiket dispensasi.

Namun, tiket seharga Rp 25.000 ini hanya dapat digunakan untuk perjalanan dalam satu provinsi. Di provinsi berikut mereka harus kembali membeli karcis dispensasi. Membeli karcis dispensasi dilakukan kalau mereka harus melewati tiga jembatan timbang atau lebih dalam satu provinsi.

Belum lagi pelbagai pungutan selama otonomi daerah yang menambah beban ongkos kirim. Semisal, untuk memasuki jalan lingkar di Kota Pemalang dari arah Surabaya ke Jakarta, setiap truk harus membayar Rp 2.000 satu kali lewat. Biaya tersebut tidak diimbangi kondisi jalan yang memadai: berlubang dan nyaris hancur di sejumlah lokasi.

LINGKARAN setan pungli jalan raya ini berawal dari keserakahan yang mendorong oknum petugas menyimpang dan itu jadi sistemik. Menurut Yunan, pemilik barang kerap menurunkan hitungan timbangan barang untuk memperoleh sedikit keringanan ongkos kirim. Sebaliknya, di jembatan timbang, angka hitungan cenderung naik dibandingkan dengan hitungan timbangan normal.

Pengusaha angkutan pun nekat memanfaatkan kondisi ini dengan memberi tawaran sistem borongan bagi pengemudi. Dalam kondisi ini, pengemudi mau tidak mau harus berspekulasi saat menerima order dengan hitungan borongan.

Sebagai contoh, Anto dalam satu rit Jakarta-Surabaya pergi-pulang mendapat uang borongan Rp 1.400.000. Biaya bahan bakar, menurut dia, Rp 500.000, uang "sosial" untuk petugas minimal Rp 100.000, dan sisanya termasuk ongkos makan, upah sopir dan kernet.

Ujung-ujungnya, penegak peraturan-yakni aparat dinas perhubungan dan polisi-justru menjadikan keadaan ini sebagai sarana mencari uang tambahan. Bahkan, pemilik barang, pengusaha, dan pengemudi akhirnya memilih melanggar aturan. Pasalnya, meski posisi mereka benar mematuhi aturan beban muatan sesuai aturan, toh pungli tetap dilakukan.

Dampak dari praktik busuk ini sudah terbukti berupa kerusakan infrastruktur: jembatan Cipunagara putus, lalu lintas macet, kecelakaan, dan kehilangan barang muatan.

Pungli di jalur pantura adalah potret betapa korupsi dilakukan begitu transparan di negeri para "politikus reformis" yang tidak mau membereskan persoalan mendasar: korupsi di segala bidang!

Sungguh, praktik ini tidak adil bagi 200 juta orang Indonesia. Ratusan juta warga hidup menderita dan harus menonton segelintir aparat begitu bebas menghidupi perut pribadi, keluarga, serta atasan dengan cara haram di jalur pantura. (S03/Dhf/Ong)


sumber: http://64.203.71.11/kompas-cetak/0408/07/Fokus/1192516.htm

Menumbuhkan Kesadaran Sejarah Lokal

Oleh: Turah Untung

MOMENTUM hari ulang tahun (HUT) Kota Tegal 12 April ini, paling tidak dapat dijadikan momentum yang pas untuk menumbuhkan kesadaran terhadap sejarah lokal Tegal.

Sehingga, peringatan HUT Kota Tegal tidak hanya sekadar seremonial potong tumpeng atau ziarah ke makam sesepuh pendiri kota, namun juga bagaimana dapat menangkap nuansa historis di balik sosok Ki Gede Sebayu dalam membangun dan memajukan masyarakat Tegal.

Keberadaan sejarah lokal, kadang seperti tertutup tabir; keberadaannya tidak seperti sejarah nasional. Padahal, setiap daerah atau tempat sudah dapat dipastikan hampir semuanya memiliki sejarah; cuma, tiap-tiap tempat itu memiliki nuansa historik yang berbeda menurut keadaan dan fakta pendukungnya. Semisal sebuah peringatan hari jadi kota, tentu ada nuansa historis yang menyertainya.

Keberadaan sejarah lokal, memang sangat ditentukan oleh adanya sumber-sumber sejarah yang mendukungnya. Bagi daerah yang dahulu menjadi pusat pemerintahan, sudah dapat dipastikan daerah itu akan memiliki arti yang sangat penting bagi pengungkapan dan penyusunan sejarah.

Berbeda dengan daerah yang semenjak dahulu tidak menjadi pusat pemerintahan, maka keadaan klasiknya akan tertutup tabir. Sebab, sumber dan fakta yang menjadi sumber primer sejarah amat minim, sehingga untuk menguak tabir sejarah tentu mengalami kesulitan.

Seperti di Kota Tegal sendiri, nuansa historis yang berbau istana sentris pada saat sekarang sangat sulit dijumpai. Di samping karena pada masa klasik bukan sebagai pusat pemerintahan di Pulau Jawa, Tegal cuma daerah enclave Mataram yang keberadaannya berada di bawah bayang-bayang kebesaran Mataram.

Meski demikian, kita bisa melihat aroma istana sentris yang terpancang secara jelas ke dalam penamaan jalan, seperti Jalan Martoloyo, Sentanan, Mangkukusuman, Pekauman, dan ada kelurahan yang bernama Keraton, yang menurut orang-orang tua di daerah itulah dulu pusat pemerintahan Tegal berada. Namun apakah penamaan itu juga memberikan gambaran kesejarahannya? Entahlah, karena belum ada penelitian.

Sementara itu dalam persepsi, masyarakat masih memandang sejarah itu sebagai rentetan peristiwa ''masa lalu'', yang konstruksi sejarah selalu dikait-kaitkan dengan politik (kekuasaan).

Akibatnya, tekstur konvensional dari materi sejarah itu tidak bergeser dari persoalan raja sentris, keraton sentris, atau orang-orang besar yang secara makro memiliki akses kekuasaan.

Ketika membicarakan masalah sejarah, maka pikiran kita akan segera terseret kepada gambaran peninggalan material dalam bentuk candi, istana, masjid, atau bangunan lain.

Atau teringat dengan sisa-sisa kebudayaan lama berupa benda-benda kegunaan sehari-hari, seperti periuk belanga, alat pertanian, dan alat peperangan.

Di Tegal, untuk mengendus sisa-sisa sejarah kuna memang amat sulit. Di samping karena minimnya peninggalan sejarah kuna, juga tidak terdokumentasinya data pendukung sejarah, baik yang berupa bangunan, bukti-bukti tertulis, maupun foto-foto sejarah.

Kita cuma bisa mencium aroma sejarah lokal Tegal ketika menyaksikan pementasan Teater RSPD saat mengusung lakon Martoloyo-Martopura, atau ketika mendengar cerita kakek kita tentang Gendowor, ketika membaca buku Anton Lucas yang berjudul Pemberontakan Tiga Daerah yang kemudian direduksi oleh Sitok Srengenge dengan cerbung Kutil di Suara Merdeka.

Atau membaca buku Sartono Kartodirjo tentang ikon perlawanan masyarakat Petani Tegal Berandal Mas Cilik 1870, yang merupakan perlawanan petani Tegal akibat menguatnya subordinasi peran kolonialisme perkebunan.

Deterministik

Kini, dalam semangat desentralisasi, nampaknya memiliki urgensi jika di saat memperingati hari HUT Kota Tegal ini kemudian ditumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap sejarah kota.

Karena nantinya, kesadaran itu dapat menjadi manifestasi spontan dari masyarakat sebagai sebuah proses untuk mewujudkan kebutuhan dasar dalam menunjukkan identitasnya dan sebagai legitimasi jati dirinya.

Desentralisasi sejarah itu dapat saja dimulai dari langkah pemerintah daerah untuk merekonstruksi sejarah kota, mengumpulkan aset-aset sejarah -baik yang berupa benda, bangunan, mauupun dokumen-dokumen sejarah-, penulisan sejarah lokal, serta pelacakan sejarah dan tokoh-tokoh sejarah lokal.

Munculnya kesadaran terhadap sejarah lama, akan pula menumbuhkan kesadaran terhadap sejarah kontemporer. Untuk membangun suatu masyarakat, perlu ditumbuhkan kesadaran terhadap sejarah kontemporer.

Dalam sejarah kontemporer itu, sejarah dipandang sebagai sebuah pergerakan yang mengikuti sebuah jalan pasti, yang mengarah maju dan tidak bisa tidak berjalan dari satu tingkat ke tingkat lain yang lebih maju.

Orang dapat saja mengetahui pergerakan sejarah itu, baik dengan menaikkan maupun menurunkan temponya; tetapi ia tidak dapat menghentikannya atau mengubah arah sejarah.

Dengan demikian, perlu dibangun ke dalam kesadaran masyarakat Kota Tegal bahwa kesadaran sejarah itu adalah cermin diri. Karena sejarah adalah sesuatu proses yang berkesinambungan, dari suatu masyarakat yang berlangsung menurut hukum-hukum tertentu yang bersifat deterministik, dan memiliki akumulasi dari bangkit dan runtuhnya suatu masyarakat (Ali Syari'ati, 1988).

Sejarah tidak dipandang hanya sebagai sesuatu yang bersifat purba dan stagnan, tetapi sesuatu yang dinamis sifatnya.

Dengan demikian, ada yang patut direnungkan di saat-saat memperingati hari jadi Kota Tegal: Bagaimana menangkap spirit ''sejarah'' Ki Gede Sebayu sebagai seorang pembangun.

Di zaman sekarang pun, kita bisa memiliki spirit Sebayu sebagai seorang pembangun peradaban. Kita memiliki ruang yang lain untuk menciptakan sejarahnya sendiri.

Bagi masyarakat modern, keberadaan sejarah sangat penting untuk bercermin. Karena pentingnya, sehingga Solzhenitya mengatakan bahwa orang yang belajar sejarah saja masih buta pada sebelah matanya; apalagi orang yang tidak belajar sejarahnya, ia bisa diibaratkan buta pada kedua matanya.

Sejarah sebagai cermin zaman, bukanlah pantulan dari keprihatinan masa lalu. Tetapi, sejarah adalah sebuah pertanggungjawaban masa kini dan masa depan; karena hakikat sejarah itu adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dirgahayu Kota Tegal. Teruslah bersolek dan bercermin!(90a)

- Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya di Kota Tegal.

sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/31/pan19.htm