Selasa, 12 Agustus 2008

Menumbuhkan Kesadaran Sejarah Lokal

Oleh: Turah Untung

MOMENTUM hari ulang tahun (HUT) Kota Tegal 12 April ini, paling tidak dapat dijadikan momentum yang pas untuk menumbuhkan kesadaran terhadap sejarah lokal Tegal.

Sehingga, peringatan HUT Kota Tegal tidak hanya sekadar seremonial potong tumpeng atau ziarah ke makam sesepuh pendiri kota, namun juga bagaimana dapat menangkap nuansa historis di balik sosok Ki Gede Sebayu dalam membangun dan memajukan masyarakat Tegal.

Keberadaan sejarah lokal, kadang seperti tertutup tabir; keberadaannya tidak seperti sejarah nasional. Padahal, setiap daerah atau tempat sudah dapat dipastikan hampir semuanya memiliki sejarah; cuma, tiap-tiap tempat itu memiliki nuansa historik yang berbeda menurut keadaan dan fakta pendukungnya. Semisal sebuah peringatan hari jadi kota, tentu ada nuansa historis yang menyertainya.

Keberadaan sejarah lokal, memang sangat ditentukan oleh adanya sumber-sumber sejarah yang mendukungnya. Bagi daerah yang dahulu menjadi pusat pemerintahan, sudah dapat dipastikan daerah itu akan memiliki arti yang sangat penting bagi pengungkapan dan penyusunan sejarah.

Berbeda dengan daerah yang semenjak dahulu tidak menjadi pusat pemerintahan, maka keadaan klasiknya akan tertutup tabir. Sebab, sumber dan fakta yang menjadi sumber primer sejarah amat minim, sehingga untuk menguak tabir sejarah tentu mengalami kesulitan.

Seperti di Kota Tegal sendiri, nuansa historis yang berbau istana sentris pada saat sekarang sangat sulit dijumpai. Di samping karena pada masa klasik bukan sebagai pusat pemerintahan di Pulau Jawa, Tegal cuma daerah enclave Mataram yang keberadaannya berada di bawah bayang-bayang kebesaran Mataram.

Meski demikian, kita bisa melihat aroma istana sentris yang terpancang secara jelas ke dalam penamaan jalan, seperti Jalan Martoloyo, Sentanan, Mangkukusuman, Pekauman, dan ada kelurahan yang bernama Keraton, yang menurut orang-orang tua di daerah itulah dulu pusat pemerintahan Tegal berada. Namun apakah penamaan itu juga memberikan gambaran kesejarahannya? Entahlah, karena belum ada penelitian.

Sementara itu dalam persepsi, masyarakat masih memandang sejarah itu sebagai rentetan peristiwa ''masa lalu'', yang konstruksi sejarah selalu dikait-kaitkan dengan politik (kekuasaan).

Akibatnya, tekstur konvensional dari materi sejarah itu tidak bergeser dari persoalan raja sentris, keraton sentris, atau orang-orang besar yang secara makro memiliki akses kekuasaan.

Ketika membicarakan masalah sejarah, maka pikiran kita akan segera terseret kepada gambaran peninggalan material dalam bentuk candi, istana, masjid, atau bangunan lain.

Atau teringat dengan sisa-sisa kebudayaan lama berupa benda-benda kegunaan sehari-hari, seperti periuk belanga, alat pertanian, dan alat peperangan.

Di Tegal, untuk mengendus sisa-sisa sejarah kuna memang amat sulit. Di samping karena minimnya peninggalan sejarah kuna, juga tidak terdokumentasinya data pendukung sejarah, baik yang berupa bangunan, bukti-bukti tertulis, maupun foto-foto sejarah.

Kita cuma bisa mencium aroma sejarah lokal Tegal ketika menyaksikan pementasan Teater RSPD saat mengusung lakon Martoloyo-Martopura, atau ketika mendengar cerita kakek kita tentang Gendowor, ketika membaca buku Anton Lucas yang berjudul Pemberontakan Tiga Daerah yang kemudian direduksi oleh Sitok Srengenge dengan cerbung Kutil di Suara Merdeka.

Atau membaca buku Sartono Kartodirjo tentang ikon perlawanan masyarakat Petani Tegal Berandal Mas Cilik 1870, yang merupakan perlawanan petani Tegal akibat menguatnya subordinasi peran kolonialisme perkebunan.

Deterministik

Kini, dalam semangat desentralisasi, nampaknya memiliki urgensi jika di saat memperingati hari HUT Kota Tegal ini kemudian ditumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap sejarah kota.

Karena nantinya, kesadaran itu dapat menjadi manifestasi spontan dari masyarakat sebagai sebuah proses untuk mewujudkan kebutuhan dasar dalam menunjukkan identitasnya dan sebagai legitimasi jati dirinya.

Desentralisasi sejarah itu dapat saja dimulai dari langkah pemerintah daerah untuk merekonstruksi sejarah kota, mengumpulkan aset-aset sejarah -baik yang berupa benda, bangunan, mauupun dokumen-dokumen sejarah-, penulisan sejarah lokal, serta pelacakan sejarah dan tokoh-tokoh sejarah lokal.

Munculnya kesadaran terhadap sejarah lama, akan pula menumbuhkan kesadaran terhadap sejarah kontemporer. Untuk membangun suatu masyarakat, perlu ditumbuhkan kesadaran terhadap sejarah kontemporer.

Dalam sejarah kontemporer itu, sejarah dipandang sebagai sebuah pergerakan yang mengikuti sebuah jalan pasti, yang mengarah maju dan tidak bisa tidak berjalan dari satu tingkat ke tingkat lain yang lebih maju.

Orang dapat saja mengetahui pergerakan sejarah itu, baik dengan menaikkan maupun menurunkan temponya; tetapi ia tidak dapat menghentikannya atau mengubah arah sejarah.

Dengan demikian, perlu dibangun ke dalam kesadaran masyarakat Kota Tegal bahwa kesadaran sejarah itu adalah cermin diri. Karena sejarah adalah sesuatu proses yang berkesinambungan, dari suatu masyarakat yang berlangsung menurut hukum-hukum tertentu yang bersifat deterministik, dan memiliki akumulasi dari bangkit dan runtuhnya suatu masyarakat (Ali Syari'ati, 1988).

Sejarah tidak dipandang hanya sebagai sesuatu yang bersifat purba dan stagnan, tetapi sesuatu yang dinamis sifatnya.

Dengan demikian, ada yang patut direnungkan di saat-saat memperingati hari jadi Kota Tegal: Bagaimana menangkap spirit ''sejarah'' Ki Gede Sebayu sebagai seorang pembangun.

Di zaman sekarang pun, kita bisa memiliki spirit Sebayu sebagai seorang pembangun peradaban. Kita memiliki ruang yang lain untuk menciptakan sejarahnya sendiri.

Bagi masyarakat modern, keberadaan sejarah sangat penting untuk bercermin. Karena pentingnya, sehingga Solzhenitya mengatakan bahwa orang yang belajar sejarah saja masih buta pada sebelah matanya; apalagi orang yang tidak belajar sejarahnya, ia bisa diibaratkan buta pada kedua matanya.

Sejarah sebagai cermin zaman, bukanlah pantulan dari keprihatinan masa lalu. Tetapi, sejarah adalah sebuah pertanggungjawaban masa kini dan masa depan; karena hakikat sejarah itu adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dirgahayu Kota Tegal. Teruslah bersolek dan bercermin!(90a)

- Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya di Kota Tegal.

sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/31/pan19.htm

Tidak ada komentar: