Selasa, 12 Agustus 2008

Jalur Pantura, Jalur Pungli

AWAL abad ke-19 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memerintahkan pembangunan Groote Post Weg (Jalan Pos) dari Anyer ke Panarukan menjadi penghubung seluruh Pulau Jawa demi keuntungan penjajah Belanda. Dua abad berlalu, Jalan Pos menjadi jalur pantura, urat nadi perekonomian Jawa sekaligus surga pungli "penjajah lokal" bernama oknum aparat.

REPETISI sejarah. Itulah drama yang terjadi di bentangan jalan raya Anyer-Panarukan. Pengisapan kolonial Belanda diulangi secara sistemik oleh birokrasi bangsa sendiri di alam "merdeka". Pantauan Kompas akhir Juli-awal Agustus di sepanjang jalur pantai utara Jawa dari Jakarta ke Surabaya pergi-pulang mendapati praktik pungutan liar menjadi tradisi abadi atas transportasi barang di lintasan tersebut. Sekurangnya seorang pengemudi harus membayar Rp 100.000 untuk perjalanan Jakarta-Surabaya pergi-pulang.

Pungli paling nyata terjadi di jembatan timbang. Apakah jumlah muatan sesuai dengan ketentuan atau melebihi tidak menjadi patokan penegakan aturan. Pasalnya, pengemudi truk tetap harus membayar sejumlah uang kepada petugas jembatan timbang.

Pada hari Jumat (30/7) hingga akhir pekan, Kompas mendapati praktik pungli pada lima jembatan timbang di sisi kiri jalan dari arah Surabaya menuju Jakarta. Demikian pula arah sebaliknya dari Jakarta menuju Surabaya, sepanjang Senin hingga Rabu, 2-4 Agustus, pada empat jembatan timbang, setiap pengemudi harus membayar minimal Rp 10.000 setiap kali melintas.

Anto (45), pengemudi truk tronton, mengatakan paling sedikit mereka harus menyediakan Rp 10.000 setiap kali melewati jembatan timbang. Jumlah tersebut bervariasi hingga mencapai Rp 20.000, tergantung jumlah kelebihan muatan dan mood petugas. Sebelumnya Anto sudah membayar upeti saat melintasi jembatan timbang Losarang di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.

Menurut Anto, oknum petugas sudah tidak malu-malu lagi minta pungli wajib. Ucapan tersebut memang terbukti saat Kompas melewati jembatan timbang di Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Truk yang dikemudikan Anto baru saja melewati jembatan timbang tanpa masalah. Tiba-tiba, saat keluar dari jembatan timbang, terdengar suara peluit melengking tiupan petugas. Dari pengeras suara jembatan timbang terdengar petugas memerintahkan untuk berhenti.

Kontan Anto menyiapkan selembar uang Rp 10.000, menyerahkannya kepada kernet. Sang kernet segera meloncat turun, berlari ke jembatan timbang, menyerahkan uang tersebut kepada petugas. Habis perkara.

Truk kembali berangkat melintasi dua jembatan timbang berikut di Demak, Jawa Tengah, dan terakhir di Lamongan, Jawa Timur. Lagi-lagi praktik itu berulang. Sepuluh ribu rupiah uang jasa keluar dari dompet Anto ke kantong petugas. "Dana sosial," kata Anto sambil tersenyum kecut.

Itu baru separuh perjalanan karena Anto masih harus kembali menyelesaikan perjalanan dari Surabaya ke Jakarta. Praktik ini berulang dan itu belum termasuk biaya tambahan untuk oknum polisi yang terkadang menyetop tanpa sebab ataupun menjebak di lokasi tertentu seperti sekitar lampu pengatur lalu lintas. (Sayang, dari Banjarnegara tidak ada perekam ulung untuk VCD mengabadikan peristiwa ini.)

Tarifnya sedikit berbeda: Rp 5.000 hingga Rp 20.000 sekali cegat. Dalam perjalanan kali ini Anto cukup beruntung tak sempat dihentikan polisi. Memang di dekat kawasan Pulogebang, seorang petugas dari mobil patroli polisi sempat memerintahkan truk yang dikemudikan Anto menepi. Namun, Anto nekat terus mengemudi dan dia mujur sebab mobil polisi tidak mengejarnya.

Kalaupun petugas tidak menjebak atau mencari kesalahan, mereka punya lokasi resmi meminta uang, seperti pos polisi dekat Gerbang Tol Ciawi. Dalam pantauan Kompas beberapa bulan terakhir, setiap truk besar dan kecil selalu berhenti sejenak dan memberikan sesuatu kepada orang-orang "berpakaian biasa" yang berkeliaran dari dalam pos polisi tersebut. Perbuatan tersebut kontras dengan papan peringatan bertulis: "Dilarang Memberikan Apa Pun kepada Petugas".

JALUR pantura adalah jalur pungli. Setiap jembatan timbang menjadi lahan pesta para oknum petugas. Bahkan, di jembatan timbang rusak sekalipun, petugas masih mengambil uang sukarela dari pengemudi. Kejadian memalukan ini terjadi di Jembatan Timbang Waruduwur, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon.

Dalam pantauan Kompas di lokasi sepanjang 24 jam, Kamis (5/8), sekitar 200 truk masuk ke jembatan timbang yang terajunya sudah tidak berfungsi itu. Apalagi, lokasi jembatan timbang itu sudah tidak menjadi jalur utama angkutan truk di Pantura sejak beroperasinya Jalan Tol Kanci-Palimanan.

Menurut petugas di lokasi, truk yang melintas di jembatan timbang itu hanya 10 persen dari seluruh lalu lintas truk yang kini memilih menggunakan jalan tol. Petugas tidak mewajibkan pengemudi memberikan uang. Namun, terlihat setiap truk besar dan kecil yang melintasi jembatan timbang "formalitas" itu memberikan uang Rp 5.000-Rp 10.000.

Bayangkan, dari sebuah jembatan timbang rusak saja bisa diperoleh uang pungli sekurangnya Rp 1 juta sehari! Bandingkanlah dengan sembilan jembatan timbang "aktif" di jalur Jakarta-Surabaya. Untuk frekuensi minimum 1.000 truk setiap hari dengan uang pungli paling kecil Rp 10.000, dipastikan bisa dihasilkan uang haram sebesar Rp 50 juta dalam sehari semalam dan dalam sebulan Rp 1,5 miliar! Ini belum termasuk jembatan timbang dan pos pungutan Merak-Jakarta dan Surabaya-Banyuwangi. Dan hitungan tersebut hanya memberikan perkiraan kasar yang sangat minim.

Sebagai bukti adalah hasil pemantauan di Lamongan, Jawa Timur, sejak pukul 10.00 sampai 11.00. Setidaknya terlihat 70 sopir truk memberikan sejumlah uang pada Jumat (30/7). Kebanyakan truk itu berbeban lebih dari yang ditetapkan. Ada yang menyerahkannya di dalam amplop atau terang-terangan dengan uang yang dilipat. Setelah memberi uang, sopir langsung bisa tancap gas.

Demikian pula, setelah menyerahkan Rp 20.000 terlipat, truk yang ditumpangi Kompas yang berdaya angkut minimal 11 ton (batas maksimal 9,35 ton) lancar perjalanannya. Jika tidak diberi, petugas bisa menilangnya. Usut punya usut, biaya tebus tilang lebih besar dibandingkan dengan biaya "salam tempel" itu. Menurut penuturan Giarto (36), sopir truk rute Sidoarjo-Surabaya, biaya tilang kelebihan beban Rp 35.000 dan proses penyelesaian sidang bisa sampai dua minggu.

Ada pula yang menyerahkan Rp 10.000 dan bisa langsung pergi. Itu pun dengan catatan, muatan tidak terlalu berlebihan. Truk berkapasitas 2,5 ton sampai lima ton (truk berukuran sedang) biasanya membayar Rp 5.000.

Memang sesekali ada truk yang terkena tilang. Namun, menurut pengakuan Anto, Yunan, dan sejumlah sopir lain, tilang dilakukan sekadar formalitas memenuhi target tilang demi kepantasan laporan administrasi di instansi terkait.

Modus pungli ini semakin canggih. Untuk truk-truk bermuatan 40 ton hingga 70 ton seperti trailer raksasa, mereka tidak diharuskan masuk jembatan timbang. Pasalnya, menurut Anto, ada setoran bulanan kepada oknum petinggi DLLAJR di provinsi masing-masing yang dilewati truk tersebut.

Selain itu, ada sistem paket bagi truk yang kelebihan muatan, jauh melampaui daya angkut dengan memberi tiket dispensasi.

Namun, tiket seharga Rp 25.000 ini hanya dapat digunakan untuk perjalanan dalam satu provinsi. Di provinsi berikut mereka harus kembali membeli karcis dispensasi. Membeli karcis dispensasi dilakukan kalau mereka harus melewati tiga jembatan timbang atau lebih dalam satu provinsi.

Belum lagi pelbagai pungutan selama otonomi daerah yang menambah beban ongkos kirim. Semisal, untuk memasuki jalan lingkar di Kota Pemalang dari arah Surabaya ke Jakarta, setiap truk harus membayar Rp 2.000 satu kali lewat. Biaya tersebut tidak diimbangi kondisi jalan yang memadai: berlubang dan nyaris hancur di sejumlah lokasi.

LINGKARAN setan pungli jalan raya ini berawal dari keserakahan yang mendorong oknum petugas menyimpang dan itu jadi sistemik. Menurut Yunan, pemilik barang kerap menurunkan hitungan timbangan barang untuk memperoleh sedikit keringanan ongkos kirim. Sebaliknya, di jembatan timbang, angka hitungan cenderung naik dibandingkan dengan hitungan timbangan normal.

Pengusaha angkutan pun nekat memanfaatkan kondisi ini dengan memberi tawaran sistem borongan bagi pengemudi. Dalam kondisi ini, pengemudi mau tidak mau harus berspekulasi saat menerima order dengan hitungan borongan.

Sebagai contoh, Anto dalam satu rit Jakarta-Surabaya pergi-pulang mendapat uang borongan Rp 1.400.000. Biaya bahan bakar, menurut dia, Rp 500.000, uang "sosial" untuk petugas minimal Rp 100.000, dan sisanya termasuk ongkos makan, upah sopir dan kernet.

Ujung-ujungnya, penegak peraturan-yakni aparat dinas perhubungan dan polisi-justru menjadikan keadaan ini sebagai sarana mencari uang tambahan. Bahkan, pemilik barang, pengusaha, dan pengemudi akhirnya memilih melanggar aturan. Pasalnya, meski posisi mereka benar mematuhi aturan beban muatan sesuai aturan, toh pungli tetap dilakukan.

Dampak dari praktik busuk ini sudah terbukti berupa kerusakan infrastruktur: jembatan Cipunagara putus, lalu lintas macet, kecelakaan, dan kehilangan barang muatan.

Pungli di jalur pantura adalah potret betapa korupsi dilakukan begitu transparan di negeri para "politikus reformis" yang tidak mau membereskan persoalan mendasar: korupsi di segala bidang!

Sungguh, praktik ini tidak adil bagi 200 juta orang Indonesia. Ratusan juta warga hidup menderita dan harus menonton segelintir aparat begitu bebas menghidupi perut pribadi, keluarga, serta atasan dengan cara haram di jalur pantura. (S03/Dhf/Ong)


sumber: http://64.203.71.11/kompas-cetak/0408/07/Fokus/1192516.htm

Tidak ada komentar: